Rabu, 23 November 2011

Etika dalam Perpajakan



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Etika adalah prinsip moral yang memberikan pegangan bagi tingkah laku seseorang. Seseorang bertindak secara etis bila memperhatikan dampak dari tindakannya terhadap lingkungan sosialnya.
Etika  merupakan sebuah nilai luhur yang wajib dimiliki oleh setiap individu. Berbicara perihal etika, apapun bentuknya pastilah berkaitan dengan nilai. Etika adalah yang tak kasat mata, namun memiliki pengaruh yang luar biasa dalam segala segi kehidupan.
Beberapa prinsip etika:
        Menghindari penyimpangan etika yang kecil-kecil
        Berfokus pada reputasi jangka panjang
        Mau menerima konsekuensi pribadi demi mempertahankan etika

Ketika etika itu dikaitkan dengan perpajakan, maka akan banyak sekali pihak yang terlibat di dalamnya. Bahkan bisa dikatakan semua pihak ada di dalamnya. Secara subyektif seluruh warga Negara adalah wajib pajak. Dengan demikian artinya etika perpajakan ini wajib dimiliki, dimengerti dan diamalkan oleh setiap individu seperti halnya etika berpakaian dan sebagainya. Pendapatan terbesar Negara ini didapatkan dari sektor pajak, pajak inilah yang digunakan untuk pembangunan baik sektor infrastukrtur maupun pembangunan dibidang lainnya. Alangkah kecewanya begitu mendengar adanya sebuah penyimpangan yang melibatkan antar institusi dinegeri ini berkaitan dengan pengelolaan pendapatan tersebut. Bagaimana pembangunan dinegara ini akan akan maju jika pendapatan untuk membangun disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Apalagi penyimpangan ini sudah dianggap menjadi sebuah tradisi. Namun sangatlah tidak bijak ketika kita membicarakan etika perpajakan, kita hanya menunjuk satu pihak saja, misalnya pemerintah yang bertindak sebagai fiskus.Tidak dapat dipungkiri bahwa fiskus merupakan salah satu actor utama dalam perpajakan. Namun ada dua actor utama lainnya, yaitu konsultan pajak dan wajib pajak itu sendiri. Mari kita menengok kasus yang baru-baru ini memerahkan telinga Dirjend Pajak.

Tertangkapnya Gayus di Singapura bukan berarti mematikan jalur penyelewangan pajak, justru dengan ditangkapnya Gayus yang diharapkanmembongkar sindikat tradisi yang melembaga dinegeri ini. Betapa tidak Gayus yang baru bergabung dengan institusinya selama 5 tahun memiliki harta melebihi kekayaan seorang menteri, jangan heran jika ada atasan Gayus yang memiliki harta berlimpah, tanah berhektar-hektar dan sejumlah rumah mewah diberbagai wilayah dan alangkah lebih mengagetkan lagi jika mereka melaporkan kekayaan tersebut didapat dari hasil hibah sebab seorang Gayus saja bisa terbebas dari jeratan hukum apa lagi atasanya.  Begitu luasnya mata rantai sindikat pengelapan pajak ini membuat pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus bekerja lebih ekstra keras untuk mengungkap.

 Berdasarkan pernyataan di atas, maka kode etik profesi perlu diterapkan dalam setiap jenis profesi. Kode etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu.
Dalam etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang tinggi yang biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengembangkan profesi yang bersangkutan. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi. Menurut Chua dkk (1994) menyatakan bahwa etika professional juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu.
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat moral-moral dan mengatur tentang etika profesional.
Di dalam kode etik terdapat muatan-muatan etika yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa profesi. Terdapat dua sasaran pokok dalam dua kode etik ini yaitu Pertama, kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara disengaja maupun tidak disengaja oleh kaum profesional. Kedua, kode etik bertujuan melindungi keseluruhan profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang tertentu yang mengaku dirinya profesional.

Menurut Hunt & Vitell [1986, dalam Khomsiyah & Nur Indriantoro (1998)], bahwa kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya masalah etika dalam profesinya, sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesinya, lingkungan organisasi atau tempat ia bekerja serta pengalaman pribadinya.
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat
terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di
samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama
anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan
pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak
menaatinya.

KODE ETIK PEGAWAI DIRJEND PAJAK

Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (Kode Etik) adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan, yang mengikat Pegawai Direktorat Jenderal Pajak(Pegawai) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dengan Kode Etik, segenap jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk mengetahui, memahami, menghayati, dan melaksanakan tugas sesuai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Keberhasilan pelaksanaan Kode Etik tidak hanya bergantung pada badan atau unit yang berwenang mengawasi Kode Etik, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor seperti pengawasan melekat dan keteladanan dari atasan dan tanggung jawab seluruhPegawai DJP. Oleh karena itu Pegawai diharapkan memiliki inisiatif untuk menjaga agar Kode Etik dapat dipatuhi antara lain dengan saling mengingatkan sesama Pegawai, berkonsultasi dengan atasan, atau melaporkan apabila terjadi pelanggaran Kode Etik di lingkungan kerja masing-masing.

Setiap pegawai pajak wajib:
1.      Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adapt istiadat orang lain.
2.      Bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel.Bekerja secara profesional meliputi:
Ø  Integritas, yaitu ukuran kualitas moral Pegawai yang diwujudkan dalam sikap jujur, bersih dari tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingannegara;
Ø  Disiplin, yaitu pencerminan ketaatan Pegawai terhadap setiap ketentuan yangberlaku;
Ø  Kompetensi, yaitu ukuran tingkat pengetahuan, kemampuan dan penguasaanatas
bidang tugas Pegawai sehingga mampu melaksanakan tugas secaraefektif dan efisien.
Ø  Bekerja secara transparan, yaitu setiap Pegawai bersikap terbuka dalammelaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yangberlaku. Namun demikian, kerahasiaan jabatan sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku, tetap harus diterapkan.- Bekerja secara akuntabel artinya Pegawai harus bertanggungjawab danbersedia untuk diperiksa oleh pihak yang berwenang atas setiap keputusanatau tindakan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tugas.
3.      Mengamankan data dan atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak.
4.        Memberikan pelayanan kepada wajib pajak, sesama pegawai, atau pihak laindalam pelaksanaan tugas dengan sebaik-baiknya.
5.  Mentaati perintah kedinasan.Perintah kedinasan adalah perintah yang diberikan oleh atasan yangberwenang mengenai atau yang ada hubungannya dengan kedinasan
6.      Bertanggung jawab dalam penggunaan barang inventaris milik Direktorat Jenderal Pajak.
7.      Mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor. 
8.  Menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
9.      Bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata secara sopan. .

Dalam buku kode etik pegawai Dirjed Pajak di atas jelas disebutkan bahwa pegawai harus bekerja dengan jujur, bersih dari tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara. Namun lagi-lagi apalah arti buku kode etik tersebut tanpa adanya moral yang baik dari pelaksananya.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam makalah ini dibahas mengenai:
1.Tanggung Jawab Akuntan Pajak
2.Etika Akuntan Pajak
3.Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan Klien

C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini ialah untuk menunjukkan bagaimana menjalankan profesi yang baik sesuai dengan kode etik profesi masing – masing. Secara khusus pada profesi praktisi pajak yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar dapat melayani masyarakat dan negara sesuai dengan etika  yang berlaku untuk para praktisi pajak.

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tanggung Jawab Akuntan Pajak
Tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak yang baik dan kuat harus terdiri dari entitas administrasi pajak, kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Selain itu ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem pajak yang baik.
Tanggung jawab praktisi pajak yangg terakhir adalah pentingnya pervasive (peresapan). Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini sulit. Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi pajak membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Praktisi lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Disamping itu praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk pemerintah.
B.     Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
  • SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
  • SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
  • SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
  • SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
  • SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
  • SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
  • SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi
  • SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada klien

C.    Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan Klien
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi budgetair. Kedua, fungsi reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23  ayat 2, disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk bertambah dan bertambah.
     Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara.  Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax avoidance.
Berikut ini beberapa kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien :
  • Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesia menganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek pajak yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak dividen adalah terjadi economic double taxation yang artinya ialah bahwa sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut Pajak Korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda.
Sebagai perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen. Mereka menggunakan kredit sistem yakni  pajak yang bisa dikreditkan kepada para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
  • Sengketa Pajak
Kalau terjadi DISPUTE, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh fiscus.
Jika uang restitusi jumlahnya milyaran, jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.
·         Tarif Pajak Yang Tinggi
Ketua Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan bahwa tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan negara. Padahal disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan untuk membayar hutang dan obligasi rekap. Meskipun semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari pajak itu digunakan untuk membangun infrastruktur.
Banyak kalangan perpajakan seperti Permana Agung, Gunadi, dan Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk membuat tarif menjadi lebih rendah.

Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak yang rendah dianggap justru akan meningkatkan penerimaan negara karena semakin banyaknya potensi pajak yang terjaring. Satu triliun dari seratus orang jauh lebih baik ketimbang satu triliun hanya dari sepuluh pembayar pajak. Tarif yang tinggi membuat yang bayar menjadi sedikit. Sehingga membuat banyak orang yang lain lebih sering menghindar dan kucing-kucingan dengan petugas pajak. Dalam pikiran mereka, sekali Anda punya NPWP sampai mati Anda akan dikejar oleh aparat pajak. Prinsip ini membuat mereka kalau bisa selalu main belakang dengan fiscus.
 

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik yang mengatur tentang etika profesional.
Dalam menjalankan profesi apapun itu sangat diperlukan ketaatan terhadap etika dan prinsip – prinsip yang sudah diatur dalam setiap profesi agar  tugas pokok dan fungsi dari profesi itu sendiri dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan agar semua pihak yang terkait dengan profesi itu sendiri baik masyarakat maupun para penyedia layanan tidak ada yang dirugikan sebagai akibat dari ketidaktaatan para penyedia layanan pada kode etik profesi mereka sendiri.
Adapun profesi sebagai praktisi pajak yang secara langsung melayani masyarakat di bidang perpajakan memiliki tanggung jawab untuk menjalankan sistem pajak yang baik dan kuat yang terdiri dari entitas administrasi pajak, kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Selain itu juga praktisi pajak memiliki tanggung jawab untuk melayani publik dengan penuh loyalitas dan tetap menjaga kerahasiaan kliennya, serta tidak menyajikan informasi yang salah pada pemerintah.
Etika akuntan pajak menurut AICPA di atur dalam Statemet on Responsibilities in Tax Practice (SRTP).
B.     Saran
Diharapkan kepada pemerintah untuk lebih memperhatikan lagi masalah – masalah yang terkait dengan Kompleksitas Aturan Perpajakan agar tidak menyebabkan kerugian terhadap pihak – pihak yang terkait.
Selain itu juga diharapkan kepada Dirjend Pajak, Badan Pengawas Keuangan, para penegak hukum, beserta seluruh pihak yang berwenang agar mengawasi dengan sebaik – baiknya jalannya pelaksanaan pembayaran pajak agar tidak terjadi pelanggaran – pelanggaran yang tentunya akan sangat merugikan negara dan masyarakat, dan juga agar bersikap tegas terhadap para penggelap – penggelap pajak yang memakan uang rakyat tersebut, dan jalankanlah hukum  sesuai dengan aturan dan Undang – undang yang berlaku tanpa pandang bulu.
Para praktisi pajak juga diharapkan untuk dapat menjalankan profesi dan tanggung jawabnya dengan tetap mengacu pada Kode Etik Pegawai Dirjend Pajak.

1 komentar: